Terumbu Karang "antara Pemanfaatan dan Pelestarian



Terumbu Karang

Oleh : Muin Sinaga, SPi

Antara pemanfaatan dan Penyelamatan

Terumbu karang adalah ekosistem khas tropik yang sangat komplek dan memiliki produktifitas yang sangat tinggi. Ekosistem ini merupakan salah satu ekosistem penting yang terdapat di kawasan Pesisir. Seperti yang kita ketahui bahwa ada tiga ekosistem penting yang saling memiliki ketergantungan di kawasan pesisir yaitu Ekosistem Bakau, Ekosistem Lamun dan Ekosistem Terumbu Karang. Masing masing ekosistem ini memiliki peran yang sangat penting dalam keberlangsungan kehidupan di kawasan pesisir.



Ekosistem Bakau berfungsi sebagai :

nPenahan erosi

nDaerah asuhan dari berbagai biota laut

nPenghasil Nutrient

Ekosistem Lamun berfungsi sebagai :

nPengikat sedimen

nDaerah asuhan

nDaerah mencari makan

nPenghasil Nutrient

Terumbu Karang secara umum berfungsi sebagai :

nPenghalang fisik

nDaerah mencari makan

nDaerah berpijak

nPengguna nutrient

Gambar : Ekosistem Wilayah Pesisir

Terumbu Karang

Terumbu karang dibangun oleh berbagai hewan bentik yang bersimbiosis dengan alga penghasil kapur melalui proses biologi dan geologi dalam kurun waktu relatif lama. Tumpukkan zat kapur baik yang besar dan kecil dilekatkan satu dengan lainnya oleh algae yang juga mengeluarkan zat kapur, sehingga disebut koraline/kalkareus algae. Koraline algae merupakan penyumbang warna-warni yang ditemukan diterumbu karang.

Yang sering disebut karang sebenanrnya adalah cangkang (tulang) luar dari hewan karang batu, yang tersusun dari zat kapur (kalkareus), CaCO3. Tubuh lunak dari hewan karang ini disebut polip karang, yang mempunyai bentuk sangat sederhana dan cara berkembang biak masih sangat sederhana juga (lihat gambar). Sebagai contoh , hewan karang melakukan makan dan membuang sisa hasil ekskresi dari lubang yang sama yaitu mulut (makan dan membuang sisa makanan dari mulut). Hewan ini berbentuk tabung, dengan tentakel yang berjumlah 6 dan kelipatannya, yang terletak di sekeliling mulutnya. Tentakel-tentakel tersebut bersifat retraktil, yaitu dapat dijulurkan dan ditarik masuk ke dalam tubuhnya. Didalam pengelompokkannya hewan karang atau disebut karang batu bersama-sama dengan karang lunak, karang api, gorgonia, anemon, ubur-ubur termasuk kedalam kelompok besar Cnidaria atau Coelenterata.

Gambar : Anatomi Hewan Karang

Uniknya hewan karang pembentuk terumbu juga memerlukan proses fotosintesis untuk membangun kerangka. Untuk membentuk terumbu, hewan karang membutuhkan waktu ribuan tahun.

Gambar : Siklus Fotosintesa hewan Karang

Walaupun struktur fisiknya kelihatan sangat kokoh namun sesungguhnya terumbu karang sangat rentan terhadap perubahan lingkungan dan perusakan, misalnya sedimentasi akibat aktifitas laut dan daratan yang mengalir kelaut, penangkapan ikan dengan menggunakan racun dan bahan peledak dan lain-lain.

Berdasarkan kemampuannya membentuk terumbu hewan karang dapat dibagi menjadi 2 yaitu : Karang Hermatiphik dan Ahermatiphik

Karang Hermatiphik

Adalah hewan karang yang dalam proses sekresinya menghasilkan zat kapur yaitu CaCO3 karena bersimbiosis dengan sel algae di dalam tubuhya. Zat inilah yang dominan dapat kita lihat dengan mata biasa. Dalam mengeluarkan zat kapurnya hewan karangpun berbeda-beda dan hal inilah salah satu yang mengakibatkan bentuk koloni karang berbeda-beda, ada yang bercabang, merayap mengikuti bentuk tempat tumbuk (substrat), berbentuk lembaran (feliose), bulat dan semi bulat (massive dan sub massive) dan lain-lain.

Selain itu bentuk-bentuk tumbuh hewan karang juga dibedakan oleh kecerahan (jernih) air, arus air dan lain-lain. Pada perairan berarus kuat dan terbuka biasanya koloni karang yang dominan tumbuh adalah berbentuk karang. Pada perairan yang berarus lemah dan tertutup maka yang dominan tumbuh adalah berbentuk lembaran (feliose) dan bulat (massive).

Dapat kita lihat bahwa koloni karang dapat tumbuh dengan warna-warna yang berbeda. Adapun perbedaan ini sesuai dengan zat warna (pigmen) yang dimiliki oleh alga (zooxanthella) yang bersimbiosis dengan karang tersebut.

Karang Ahermatiphik

Adalah hewan karang yang dalam proses sekresinya tidak menghasilkan zat kapur, maka karang jenis ini juga disebut karang lunak (soft coral). Hewan karang memang sangat unik, pada jenis yang tidak mengasilkan zat kapur sebagai penyanggah tubuh karang lunak membentuk duri kecil (spin) di sepanjang tubuh koloninya yang gunanya sebagai pertahanan diri.

Struktur fisik terumbu karang yang beragam, memberikan panorama alam yang sangat indah, banyaknya celah dan rongga menjadikan komunitas ini sebagai tempat berlindung, berkembang biak dan mencari makan bagi barbagai jenis ikan ekonomis penting dan organisme laut lainnya.

Siklus Hidup

Sebagaian besar karang membentuk koloni dan beberapa hidup secara soliter. Proses perkembangbiakannya adalah dengan cara perkawinan (seksual) dan pembelahan (aseksual). Pada tingkat kedewasaan tertentu, sel jantan dan sel betina akan bertemu dan terjadi pembuahan yang kemudian terbentuk larva. Proses pembuahan dapat terjadi di dalam maupun di luar tubuh induk polip karang betina. Larva yang disebut larva planula ini bersifat planktonik, yang bergerak terbawa oleh arus dan akan melekatkan dirinya pada substrat yang sesuai. Di dalam siklus jaring makanan di terumbu karang larva planula adalah zooplankton yang merupakan sumber makanan bagi predator skunder dan juga sebagai konsumer primer.

Gambar : Siklus Hidup Hewan Karang

Setelah larva planula melekat, maka pertumbuhan karang dimulai dengan perkembang biakan aseksual, yaitu dengan pembelahan polip-polip karang, yang kemudian membentuk koloni. Pertumbuhan karang batu relatif lama. Untuk jenis-jenis yang mempunyai pertumbuhan lambat yaitu antara 0,5 – 2,5 cm per tahun. Sedangkan bagi jenis-jenis yang mempunyai pertumbuhan yang cepat adalah sekitar 10 – 15 cm per tahun. Laju pertumbuhan karang batu sangat tergantung dari bentuk koloni dan faktor kondisi lingkungan dimana karang batu tersebut hidup.

Diperkirakan terdapat lebih dari 350 jenis karang batu yang hidup di Indonesia. Yang tersebar di Indonesia dengan konsentrasi penyebaran yang lebih banyak di daerah Indonesia bagian timur, yaitu Sulawesi, Maluku dan Nusa Tenggara. Keindahan dan keunikan dari karang batu terlihat dari beragam bentuk pertumbuhan koloni, yaitu:

nBentuk percabangan yang banyak didominasi oleh genus Acropora.

nBentuk yang menyerupai lembaran daun misalnya dari genus Montipora

nBentuk Massive dan bulat misalnya famili Favidae

nBentuk soliter yang menyerupai jamur, sehingga disebut karang jamur dari genus Fungia.

Selain karang batu, hewan-hewan utama lain yang masih termasuk dalam kerabat karang dan hidup di terumbu karang adalah akar bahar (Antipathes), gorgonia dan anemon.

Fungsi terumbu karang

Ekosistem terumbu karang sangat bermanfaat bagi kelangsungan hidup manusia. Terutama bagi bangsa Indonesia yang sebagaian besar penduduknya mempunyai mata pencaharian sebagai nelayan dan kegiatan lain yang berhubungan erat dengan Kawasan pesisir.

Fungsi terumbu karang secara Ekologi antara lain :

  • Pelindung pantai dari hempasan ombak selanjutnya dapat mencegah erosi
  • Tempat berlindung, mencari makan dan berpijah beribu-ribu jenis hewan laut


Fungsi terumbu karang secara ekonomi :

  • Penghasil sumber makanan yang bernilai gizi tinggi dan daya jual yang mahal
  • Daya tarik pariwisata (wisata bahari)
  • Penghasil obat-obatan dan kosmetik
  • Laboratorium alam (tempat penelitian kemajuan ilmu pengetahuan)

Gambar : Terumbu Karang sebagai Tujuan Wisata Bahari

Tipe-tipe Terumbu Karang

Terumbu karang yang ada saat ini diperkirakan berumur sekitar 5 juta tahun. Sedangkan fosil terumbu yang tertua pernah ditemuikan diperkirakan berumur 400 tahun.

Bentuk terumbu karang dapat dikelompokkan dalam beberapa tipe yaitu:

Terumbu karang tepi (Fringing Reef): terbentuk di tepi suatu pulau atau daratan. Terumbu karang tepi paling banyak ditemukan di daerah perairan Indonesia.

Gosong terumbu (patch reefs) : terumbu yang relatif tidak luas dan yang dalam pembentukkannya belum mencapai permukaan laut. Terumbu ini pada akhirnya dapat tumbuh menjadi pulau-pulau karang. Tipe ini banyak terdapat di Indonesia.

Atol : Terumbu karang yang membentuk lingkaran atau cicin. Salah satu teori pembentukannya adalah tenggelamnya gunung berapi dimana terumbu karang tepi yang tumbuh disekelilingnya tetap hidup. Sehingga ketika gunung api tenggelam, terumbu tepi tetap hidup yang akhirnya membentuk lingkaran. Teori ini diperkuat dengan penelitian yang dilakukan di Eniwetok atol, dengan ditemukannya batuan gunung api dari hasil survey pengeboran. Atol terbesar yang ada di Indonesia adalah Taka bone Rate yang terletak di Sulawesi Selatan. Atol ini merupakan atol ketiga terbesar di dunia dan telah ditetapkan sebagai kawasan konservasi taman nasional, seluas 530,765 ha.

Terumbu karang penghalang (Barrier) : terumbu yang dipisahkan dari suatu pulau atau daratan oleh goba atau laut yang dalam. Tipe ini kebanyakkan ditemukan di Indonesia bagaian Indonesia timur dan tengah, seperti Kalimantan, sulawesi dan Irian Jaya. Terumbu karang penghalang terpanjang di dunia adalah Great Barrier Reef, Australia timur, yaitu sepanjang 2000 km.

Sebaran terumbu karang sangat dipengaruhi oleh faktor kondisi lingkungan perairan, terutama faktor kedalaman, suhu dan pola arus. Faktor kedalaman yang mempengaruhi penyebaran secara vertikal. Sedangkan pola arus dan suhu adalah faktor yang mempengaruhi penyebaran horizontal.

Faktor-faktor Kondisi Lingkungan Perairan yang berpengaruh Terhadap Pertumbuhan Terumbu Karang

Suhu Air Laut

Karang sangat baik tumbuh pada suhu 26 C -28 C. Penyebaran horizontal terumbu karang adalah antara 35 LU dan 32 LS. Kenaikan dan penurunan suhu sekecil 1 C sekalipun, apabila terjadi dalam waktu yang relatif lama, akan menimbulkan kematian pada karang batu. Pemutihan (bleaching) yang terjadi pada tahun 1983 dan 1997 lalu di beberaqpa tempat di Indonesia, besar sekali kemungkinan kerena terjadinya kenaikan suhu (global warming).

Salinitas

Karang tumbuh baik pada salinitas yang berkisar antara 30 -36 ppm.

Ancaman Terhadap Terumbu Karang

Terumbu karang sebagai kumpulan hewan-hewan yang lemah sehingga sangat rentan terhadap gangguan dari dalam ekosistem sendiri maupun dari luar.

Ancaman dari dalam misalnya yaitu dari pemangsa yang terkenal adalah CoTS (Crown of Thorn Starfish) yaitu Acanthaster plancii (lihat gambar). CoTs ini memakan polip-polip karang dengan menyedut dengan alat pengisap yang berada pada tubuh bagian bawah. Tetapi hewan berduri ini adalah makanan dari moluska jenis Triton.

Ancaman yang lain dan yang paling berbahaya adalah dari kegiatan manusia, baik secara langsung maupun tidak langsung. Kegiatan yang secara tidak langsung seperti :

nPenebangan hutan dan tanaman di sepanjang daerah aliran sungai yang aliran akhirnya ke laut

nReklamasi pantai yang dekat dengan terumbu karang

npembuatangan limbah industri dan sampah rumah tangga

nPencemaran minyak dari kapal atau pengeboran minyak lepas pantai

nSisa kegiatan pertanian seperti pupuk dan pestisida

Ancaman secara langsung antara lain :

nPemanfaatan sumberdaya alam yang merusak seperti penangkapan ikan dengan bahan peledak dan racun (merugikan US$ 46 juta dalam 4 tahun)

nPemanfaatan yang berlabihan

nPemakaian bubuh yang terlalu banyak

nMembuang jangkar pada daerah karang

Terumbu karang memiliki sebaran terluas di Indonesia, dan memiliki nilai estetika dari keindahannya serta potensi nilai ekonomi dari kekayaan ekosistemnya. Dari data yang dikeluarkan oleh LIPI pada tahun 2002 bahwa kondisi terumbu karang yang Baik dapat menghasilkan 30 ton ikan /km2, kondisi terumbu karang Sedang dapat menghasilkan ikan 16 ton /km2 dan kondisi terumbu karang Buruk dapat menghasilkan ikan 3 ton /km2.

Disisi lain kekayaan ekosistem ini belum termanfaatkan secara optimal, namun, kondisi ekosistem ini sudah berada pada kondisi yang memprihatinkan, akibat dari pemanfaatan yang merusak serta perusakan lingkungan.

Upaya Penyelamatan

Ekosistem terumbu karang merupakan penghasil sumberdaya ikan yang sangat besar. Berdasarkan data dari orasi ilmiah Prof. Dr. Ir.H. Rokhmin Dahuri, MS bahwa potensi ikan demersal di indonesia 1.365 juta ton/tahun. Angka ini merupakan urutan no 2 setelah potensi ikan pelagis kecil yaitu 3.605 juta ton/tahun. Dalam pemanfaatannya yang dilakukan baru mendekati 80%. Sumberdaya ini harus dikelola dalam artian dimanfaatkan dan dilestarikan sehingga tercapai keberlanjutan sumberdaya (sustainable resources) dimanfaatkan untuk kebutuhan manusia dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Cara-cara pengelolaan yang telah dikenal di Indonesia ada beberapa dimana salah satunya adalah Marine Management Area (MMA). Pada prinsipnya MMA adalah mengelola suatu daerah pesisir dan laut untuk kelestarian dan keberlanjutan kehidupan masyarakat yang berinteraksi dengan daerah tersebut baik langsung maupun tidak langsung. Melihat dari prinsip pengelolaannya maka MMA dapat kita sebut juga dengan Marine Protected Are (MPA), dimana terjemahan resmi ke dalam bahasa Indonesia adalah Kawasan Konservasi Laut (KKL) (*Komnaskolaut).

Defenisi KKL adalah : “perairan pasang surut termasuk kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil, termasuk tumbuhan dan hewan di dalamnya, serta bukti peninggalan sejarah dan sosial budaya dibawahnya, yang dilindungi secara hukum atau cara lain yang efektif baik dengan melindungi seluruh atau sebagain wilayahnya”.

Dalam Rencana Peraturan Pemerintah tentang Kawasan Konservasi Sumberdaya Ikan disebutkan beberapa jenis KKL yaitu :

Taman Nasional Perairan ; adalah kawasan pelestarian alam perairan yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, pengkajian, ilmu pengetahuan, pendidikan perikanan, wisata bahari dan rekreasi.

Suaka Alam Perairan ; adalah kawasan dengan ciri mempunyai fungsi pokok sebagai kawasan pelestarian keanekaragaman ikan dan ekosistemnya yang juga berfungsi sebagai wilayah sistem penyangga kehidupan.

Taman Wisata Perairan : adalah kawasan perairan Dengan tujuan utama untuk dimanfaatkan bagi kehidupan wisata bahari dan rekreasi.

Suaka Perikanan ; adalah kawasan perairan tertentu baik air tawar, payau, maupun laut dengan kondisi dan ciri tertentu sebagai tempat berlindung/berkembang biak jenis sumberdaya ikan tertentu yang berfungsi sebagai daerah perlindungan.

Daerah Perlindungan Laut ; adalah kawasan konservasi laut daerah yang dikelola oleh masyarakat setempat serta ditetapkan dalam peraturan desa untuk kepentingan konservasi sumberdaya ikan dan lingkungannya.




Mengapa Diperlukan KKL (MMA) di Daerah

Sumberdaya kelautan merupakan salah satu kekayaan alam yang banyak dimanfaatkan oleh masyarakat. Akan tetai pemanfaatan sumberdaya tersebut belum memperhatikan kelestariannya. Akibatnya terjadi degradasi fungsi, kualitas serta keanekaragaman hayati. Sebagai contoh di Kabupaten Natuna khususnya di perairan sekitar pulau Bunguran, dari hasil penelitian CRITC Coremap Provinsi Riau bekerjasama dengan P2O LIPI tahun 2002 diketahui bahwa kondisi terumbu karang di Pulau Bunguran dan sekitarnya sudah mulai memprihatinkan karena Kondisi terumbu karang dengan rata-rata tutupan 19,9 %. Tetapi ada beberapa lokasi yang kondisinya masih sangat baik yaitu disekitar pulau Bunga yaitu sebelah Barat Laut Pulau Bunguran. Kerusakan yang terjadi sebagian besar disebabkan oleh kegiatan perikanan yang tidak ramah lingkungan yaitu memakai bahan peledak dan racun. Ada juga kegiatan penambangan batu karang untuk keperluan pebangunan rumah dan lain-lain. Pelaku kerusakan tidak hanya dilakukan oleh nelayan-nelayan lokal tetapi juga oleh nelayan luar daerah dan nelayan asing.

Dalam rangka mengatasi degradasi sumberdaya kelautan tersebut diperlukan suatu desain pengelolaan yang dapat diterima oleh semua pihak terutama tiga pihak yang paling mempunyai kepentingan yaitu : masyarakat, pelaku bisnis dan pemerintah. Tetapi yang paling diharapkan adalah desain pengelolaan yang dapat menyatukan kebijakan yang ada sehingga dapat mengakomodir kebutuhan masyarakat.

Di beberapa daerah KKL (MMA) telah terbukti menjadi alat yang efektif dalam melindungi sumberdaya pesisir dan laut, serta pengelolaan sumberdaya yang berkelanjutan seperti perikanan tangkap dan pariwisata. KKL (MMA) berbeda dari sistem pengelolaan perikanan tangkap yang ada sekarang ini, seperti pengaturan armada, alat tangkap dan hasil tangkap tetapi KKL lebih memperhatikan ekosistem secara keseluruhan dibandingkan satu atau beberapa spesies yang ekonomis.

Salah satu fungsi KKL (MMA) adalah sebagai daerah perlindungan habitat dan spesies ikan. Dengan demikian KKL diharapkan dapat berfungsi sebagai bank sumberdaya perikanan yang dapat mendukung peningkatan dan keberlanjutan pendapatan masyarakat, khususnya nelayan.

Pengelolaan KKL bersifat lebih partisipatif yaitu sebesar-besarnya diharapkan keikutsertaan berbagai pihak terutama masyarakat untuk membuat desain sesuai dengan karakteristik daerah masing-masing. Karakteristik ini dapat terlihat misalnya melalui sistem zonasi yang mungkin dapat diterapkan pada tingkat pemanfaatn yang berbeda. Pada zona “inti “ misalnya, mungkin tidak diperbolehkan pengeksploitasian sumberdaya tetapi masih bisa digunakan sebaga tujuan wisata bahari yang tidak merusak habitat misalnya penyelaman dan snorkling.

Pada kenyataannya masih banyak terdapat kendala pengelolaan KKL yang pernah ada di Indonesia yang disebabkan oleh beberapa hal yaitu :

Orientasi pengelolaan KKL lebih terfokus pada manajemen teresterial yaitu terfokus pada kehidupan bawah air saja.

Pengelolaan yang masih bersifat sentralistik, belum melibatkan pemerintah daerah dan masyarakat setempat

Tumpang tindih pemanfaatan ruang dan benturan kepentingan dari berbagai pihak

Masih banyak terjadi pelanggaran di KKL yang sanksinya tidak jelas.

Pemerintah melalui Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP), mencoba mengembangkan suatu pendekatan yang sejalan dengan semangat otonomi daerah, dimana peran dan tanggungjawab Pemerintah daerah lebih besar dalam mengelola wilayah lautnya. Untuk itu pemerintah telah menetapkan kawasan-kawasan konservasi laut yang terdapat di beberapa daerah di Indonesia. Model pengelolaan seperti ini diberi nama Kawasan Konservasi Laut daerah (KKLD) yang difasilitasi oleh Direktorat Konservasi dan Taman nasional Laut, DKP.

KKLD merupakan paradigma baru dalam pengelolaan sumberdaya kelautan yang sedang digalakkan secara nasional untuk mengurangi tekanan terhadap laut kita semakin kritis. Dasar hukum pembentukan kawasan konservasi nasional adalah sebagaimana diatur dalam UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Sedangkan landasan hukum untuk KKLD diatur dalam UU No. 32 Tahun 2004 tentang Peerintahan Daerah. Dalam pasal 18 UU ini dijelaskan bahwa salah satu kewenangan daerah di wilayah laut adalah eksploitasi dan konservasi sumberdaya alam.

Ada pendapat bahwa dengan adanya kawasan yang dikonservasi atau dilindungi maka berkuranglah tempat mata pencaharian nelayan. Pendapat ini tidak sepenuhnya benar, karena yang penting dalam KKL adalah bagaimana aturan main yang disepakati dapat dijalankan oleh masyarakat.

Proses Pembentukan KKL (MMA)

Dalam pembentukan suatu daerah konservasi perlu dilakukan beberapa tahap. Tahap ini mutlak diperlukan untuk mendapatkan hasil yang sesuai dengan harapan. Adapun tahap-tahap tersebut adalah :

Persiapan

Pada tahap persiapan ini merupakan tahap yang paling penting karena meliputi :

Sosialisasi

Kegiatan ini sangat diperlukan untuk memberikan pemahaman kepada semua pihak. Semua pihak-pihak yang terkait harus paham tentang KKL, apa gunanya dibentuk KKL baik secara ekonomi maupun ekologi. Sesuatu yang sangat disayangkan bila terjadi ketidak pahaman dari salah satu pihak yang terkait tentang apa yang akan dikelola.Kegiatan sosialisasi bisa berbentuk workshop, fokus grup diskusi (FGD) di berbagai tingkat stakeholder.

Pengumpulan data

Data-data yang diambil meliputi data sosial ekonomi masyarakat setempat dan data ekologi. Hal ini semua sebagai rona awal untuk mengetahui kemajuan atau keberhasilan dari suatu KKL pada tahap-tahap monitoring dan evaluasi.

Penentuan Lokasi

Kemudian perlu dilakukan pentuan lokasi yang partisipatif, maksudnya adalah Lokasi yang akan dijadikan KKL ditentukan oleh masyarakat bersama dengan stakeholder lain dan difasilitasi oleh pemerintah. Perlu ditekankan bahwa masyarakat yang dimaksud dalam hal ini adalah : aparat pemerintah desa, tokoh agama, tokoh adat, tokoh pemuda dan lain-lain. Jika diperlukan pembatasan-pembatasan kawasan atau terdapat beberapa pilihan maka supaya dibuat skala prioritas. Untuk memperkuat pemilihan lokasi sebaiknya diperlukan dukungan ilmiah dari pihak yang berkompetensi dalam hal ini adalah Perguruan Tinggi, CRITC Daerah atau lembaga akademis lainnya.

Analisa

Semua data yang diperoleh di analisa dalam suatu lokakarya atau juga dapat dilakukan dalam diskusi yang mendalam di tingkat masyarakat. Hasil analisa ini juga harus di cek ulang kebenarannya.

Pada tahap ini sebaiknya telah ada peta rencana lokasi KKL yang dibuat secara partisipatif yaitu mengedepankan partisipasi masyarakat setempat. Yang perlu diperhatikan adalah proses dari kegiatan bukan hasil akhir yang cantik.

Pengelolaan

Setelah semua stakeholder memahami arti pentingnya pembentukan KKL di daerah maka dalam pelaksanaannya perlu dibuat aturan main yang mengikat semua pihak dan mempunyai kekuatan hukum. Aturan ini dapat dibuat dalam bentuk Peraturan Desa. Selain aturan main dalam bentuk Perdes juga harus dibentuk badan pengelola KKL. Untuk badan pengelola ini disarankan supaya dapat melakukan kolaborasi antara masyarakat, Pemerintah dan swasta. Badan pengelolaan ini diatur sedemikian rupa supaya kepentingan-kepentingan semua pihak dapat diakomodir, tetapi tetap harus ingat bahwa tujuan utama pembentukan KKL adalah sebagai daerah perlindungan habitat dan spesies ikan untuk kesejahteraan masyarakat.

Selanjutnya yang perlu diadakan ialah perangkat pengelola dan infrastruktur pendudkung antara lain : Kepengurusan berikut dengan tugas-tugas dan fungsinya, tanda-tanda/ papan pengumuman, batas-batas kawasan, pelampung-pelampung untuk tempat penambatan perahu atau kapal dan lain-lain.

Monitoring dan Evaluasi

Setelah KKL ini berjalan, maka diadakan evaluasi dari semua kebijakan yang telah disepakati bersama. Hal-hal yang tidak dapat diterapkan dilapangan harus segera dicarikan solusi pemecahannya. Dari kondisi awal/rona awal dibuat indikato-indikator keberhasilan misalnya berapa persen peningkatan tutupan karang hidup, berapa persen peningkatan pendapatan masyarakat dari kegiatan nelayan.

Aktifitas pengelola tidak cukup sampai di sini saja tetapi harus terus ditindak lanjuti dengan pengusulan memperkuat status hukum KKL melalui SK Bupati dan Perarturan Daerah. Strategi yang perlu dilakukan adalah menggalang kekuatan semua yang tergabung dalam pengelola untuk melakukan pengusulan hal ini ke Pemerintah Daerah dan DPRD. Pertemuan harus sering dilakukan untuk membahas Rancangan Peraturan Daerah mengenai Kawasan Konservasi Laut. Disini yang harus diminta kerja kerasnya adalah dari pihak pemerintah sebagai fasilitator pertemuan-pertemuan dan diskusi yang bersangkutan baik dalam lokakarya, workshop maupun diskusi nonformal di tingkat Kabupaten. Perlu dicatat bahwa ini semua dilakukan jika hasil monitoring dan evaluasi yang dilakukan, indikator keberhasilan harus meningkat.

Bagan Proses Pembentukan KKL Daerah

PERSIAPAN

ANALISA

PENGELOLAAN

Sosialisai

Pengumpulan Data

Penentuan Lokasi

Peta Lokasi

Infrastruktur

Aturan Main

Badan Pengelola dan Perangkatnya

MONITORING DAN EVALUASI

Peningkatan Status Hukum

Indikator Keberhasilan

Solusi Permasalahan

Lokakarya

FGD

Satu kesepakatan, Satu visi, pemahaman dan Komitmen

PERDES

Kolaborasi

Studi Kasus (Pembelajaran)

1. Kawasan KKL Berau Kalimantan Timur

Kawasan KKL Berau sebagai contoh konsep pengelolaan yang di inisiasi oleh pihak swasta yang dalam hal ini adalah LSM.

Inisiatif Pengelolaan wilayah pesisir dan laut Kabupaten Berau telah dimulai sejak 1998. Pada tahun 2002 dimulai inisiatif pengembanagan KKL Berau dengan dilakukannya kajian ekologi sumberdaya pesisir dan laut. Sejak awal banyak pihak yang peduli terhadap Kawasan Berau baik dari lokal, Nasional dan Internasional karena di daerah ini terdapat suatu ekosistem yang unik yaitu Danau air asin di Pulau Kakaban.

Kegiatan sosialisai dilakukan dalam waktu yang lama terhitung sejak awal inisiasi yaitu tahun 1998 hingga 2005 (7 tahun) melalui 23 rangkaian kegiatan baik itu Lokakarya, Pelatihan, Saresehan, Rapat-rapat dan pertemuan informal, Work shop, MOU antara Pemkab dan LSM, Evaluasi dan akhirnya Presentasi konsep KKL. Sehingga akhirnya KKL Berau resmi dengan keluarnya Peraturan Bupati tentang Kawasan Konservasi Laut Kabupaten Berau.

Awalnya ada semacam POKJA dengan nama Tim 16 yang terdiri dari unsur-unsur Dinas Perikanan dan Kelautan, Bappeda, Bapelda, KSDA, WWF, Kehati, Bestari, Kalbu, TNC, AL, Sangalaki Dive Lodge dan perwakilan masyarakat dari 5 kampung, merupakan tim kecil multipihak dan berhasil membentuk Komite Pengelolaan Pesisir dan Laut.

Tujuan dan fungsi komite adalah:

nAdanya suatu bentuk pengelolaan wilayah pesisir dan laut di Kabupaten Berau yang partisipatif, demokratis dan berkeadilan secara terpadu dan berkelanjutan

nSebagai wadah komunikasi dan koordinasi multipihak (Pemda, swasta, masyarakat, LSM, akademisi) untuk mengembangakan pengelolaan wilayah pesisir dan laut secara terpadu sehingga dapat memberikan manfaat dan kesejahteraan masyarakat dan kelestarian sumber daya alam.

Tim 16 ini selanjutnya tidak berjalan karena tidak mendapat persetujuan dari Bupati dikhawatirkan lembaga ini membebani APBD Kab. Berau.

Strategi selanjutnya adalah mendatangkan pihak-pihak yang berkomitmen dengan penyelamatan sumberdaya pessir dan laut dan mereka juga memiliki dana. Pengelolaan KKL Berau dengan konsep Kolboratif dimulai pada tahun 2003 dengan melibatkan 6 lembaga yang terdiri dari LSM Lokal, Nasional dan Internasional yaitu : Yayasan Kalbu, Yayasan Bestari, Yayasan Kehati, WWF, TNC dan Mitra Pesisir yang pendanaan kegiatan mereka juga dilakukan saling kerja sama.

Banyak yang dihasilkan dari tim kolaboratif ini yaitu :

nDesain pengembangan kebijakan pegelolaan wilayah pesisir dan laut (KKL Berau);

nRencana pengelolaan termasuk pemetaan kawasan KKL dan kawasan kelola masyarakat;

nMembangun komite bersama denagan melibatkan masyarakat setempat; Melakukan pendidikan non formal dan penyebarluasan informasi dan melakukan upaya pelestarian serta mendudkung pemanfaatan yang berkelanjutan.

Selanjutnya terbentuk kesepakatan kerjasama dalam “Kerangka Kerja Kolaborasi 5 (lima) tahun”. Dibentuk juga Sekretariat bersama karena banyak organisasi yang ambil bagian. Kemudian dilakukan Penandatanganan piagam kesepakatan dengan pemerintah

Dalam konsep pengelolaan dilapangan dibuat porsi pengelolaan oleh Pemerintah, LSM dan masyarakat dengan satu visi “Terwujudnya Kawasan Konservasi Laut Berau yang dikelola secara mandiri dan lestari yang dapat melindungi keanekaragaman hayati, menjamin usaha perikanan dan wisata berkelanjutan serta sebagai pusat perhatian dunia untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat

Dari pihak pemerintah melakukan pengadaan dokumen-dokumen legal yang dibutuhkan. LSM dan Swasta pengadaan Konsep kerja dan penggalangan dana. Masyarakat melakukan pengamanan dan penyediaan wilayah sekaligus ujung tombak di lapangan.

2. Kawasan Konservasi Senayang-Lingga Kab. Lingga

Kawasan Konservasi Senayang-Lingga merupakan contoh pengelolaan yang dilakukan oleh Masyarakat tetapi inisiasi awal dimulai dari Pemerintah dan selanjutnya oleh masyarakat.

Kawasan Konservasi di Senayang dan Lingga dibentu sebagai salah satu hasil akhir dari program Rehabilitasi dan Peneglolaan Terumbu Karang (Coremap).

Sosialisasi dilakukan sejak tahun 1998 yaitu pemerintah Kab. Kepulauan Riau melakukan sosialisasi dan pengumpulan data. Pada tahun 1999 Coremap mulai dijalankan. Strategi awal yang dilakukan adalah tetap dengan sosialisasi melalui serangkaian kegiatan yaitu : Lokakarya, Workshop, Pelatihan, Pendampingan langsung ke masyarakat dan lain-lain.

Secara konsep pelaksanaan penentuan lokasi Kawasan Konservasi dilakukan olek masyarakat dan tetap difasilitasi oleh pemerintah melalui LSM pendamping. Setelah 2 tahun melakukan serangkaian kegiatan maka keluarlah SK Bupati No. 17 Tahun 2001 yang menetapkan Kawasan Konservasi Senayang-Lingga. Tetapi kita akui bahwa waktu sosialisai selama 2 athun yang dilakukan ternyata tidak sepenuhnya berhasil membuat semua stakeholder memahami program yang akan dijalankan. Terbukti dari di beberapa lokasi Kawasan Konservasi terjadi konflik yaitu masyarakat protes daerahnya dijadikan Kawasan Konservasi.

Kegiatan terus berjalan, konflik dan permasalahan telah dapat diatasi dengan melakukan pendekatan secara persuasif dan sosialisasi yang lebih mendalam, memberikan pemahaman kepada semua pihak tentang fungasi dan tujuan dibentuknya Kawasan Konservasi di daerah.

Pengelolaan Kawasan Konservasi dilakukan oleh masyarakat sepenuhnya dengan membentuk Kelompok Masyarakat (Pokmas) sebagai pengelolanya yaitu Pokmas konservasi.

Aturan main untuk kawasan konservasi dibuat setelah adanya SK Bupati. Dalam bentuk Peraturan desa maka tahun 2003 disyahkanlan Rencana Pengelolaan Terumbu Karang (RPTK).

Sekarang di beberapa lokasi Kawasan Konservasi masih berjalan dengan pengelolaan sepenuhnya oleh masyarakat.

3. Taman Nasional Wakatobi Sulawesi Tenggara

Taman Nasional Laut Wakatobi dibentuk sepenuhnya inisiatif Pemerintah dengan alasan wilayah Wakatobi memiliki keanekaragaman hayati yang sangat tinggi. Daerah ini dikenal sebagai daerah garis Wallacea yaitu pertemuan sumber kehidupan hewan dan tumbuh-tumbuhan dari Indonesia bagian Timur dan Barat.

Taman Nasional Laut Wakatobi dikuatkan dengan SK Menteri Kehutanan No. 393/Kpts – VI/1996, tanggal 30 Juli 1996. Kemudian diperkuat lagi dengan SK menteri Kehutanan No. 7561/Kpts – II/2002, Tanggal 19 Agustus 2002. Luas Taman Nasional ini adalah 1.390.000 ha.

Pengelola Taman nasional ini adalah Balai Taman Nasional Laut Wakatobi beridi di bawah Departemen Kehutanan.

Sekarang Wakatobi menjadi kabupaten sendiri yang seluruh wilayahnya masuk dalam kawasan Taman nasional. Maka dalam pengelolaannya tetap berintegrasi dengan pemerinrah setempat, hal ini sebagai melaksanakan semangat otonomi daerah. Secara garis besar 30 % dari luas Taman Nasional dijadikan kawasan inti dengan maksud sebagai kawasan yang tidak boleh ada kegiatan penangkapan ikan atau kegiatan ekonomi lainnya.

Balai Taman Nasional Wakatobi dalam mengelola Kawasan bekerja sama dengan LSM TNC – WWF, Operation Wallacea dan asyarakat setempat. Pada intinya adalah pengelolaannya tetap kolaborasi antar berbagai pihak.

Sekarang telah ada 21 kawasan calon zona inti yang telah diteliti bersama-sama.

Di dalam Taman nasional ada beberapa kegiatan yang berjalan diatantanya adalah TNC-WWF yang konsentrasi di bidang penelitian, penyediaan sarana pengawasan, pelestarian dan menejemen lainnya.

Kegiatan ekonomi dilakukan oleh Wakatobi Resort dan Operation Wallacea dengan konsep pengelolaan resort yang bekerjasama dengan masyarakat setempat sehingga masyarakat dapat menikmati hasil dari keunikan wilayahnya.

Kesimpulan dan Pembelajaran

Sosialisasi, penyebarluasan informasi sangat diperlukan dalam tahap awal memulai suatu kegiatan pengelolaan Kawasan Konservasi Laut

Pengelolaan suatu kawasan sangat baik jika dilakukan kolaborasi dengan berbagai pihak

Dalam menentukan Kawasan yang akan dikelola harus partipatif dan dilengkapi dengan dukungan ilmiah.

Pengawasan yang berbasis masyarakat sangat efisien dari segi tenaga dan biaya.

Aturan main sangat menentukan dalam keberhasilan suatu KKL yang selanjutnya harus dikuatkan oleh perangkat hukum

Legalitas suatu kawasan sebaiknya dimulai dari tingkat yang paling bawah.

Kawasan Konservasi laut dibentuk sedemikian rupa harus bertujuan sebesar-besarnya untuk kesejahteraan masyarakat.


Forum Komunikasi Mata Buka

Aku saat ini menhadiri kegiatan Diskusi pada Forkom Mata Buka di Raden Saleh